Dear Kang Emil dan Bu Cinta, Ini
Ceritaku Membangun dan Mendukung UMKM Di Perantauan
Chapter One
Bismillahirrahmanirrahiim,
sebelumnya saya minta izin dahulu untuk menyapa dan menggunakan nama Bapak dan
Ibu di judul serta dalam tulisan ini. Jujur saya hanya ingin bercerita
sekaligus menyatakan sebagai warga Jawa Barat yang tidak akan pernah melupakan
tanah kelahirannya. Walaupun saat ini saya tengah di perantauan, tetap saja
jiwa suku Sundanya masih sangat kental dan tidak akan luntur sampai kapan pun.
***
Tidak
perlu diceritakan alasanku datang ke kota Kediri ini, karena kalau diceritakan
nanti malah jadi novel dan bukannya feature
hehe. Lagipula jawaban yang didapat pasti sama dengan mereka yang juga
datang dari tanah Sunda ke kota ini. “Nu
pasti mah hoyong ngarubah hirup atuh, Teh.” Jawaban yang serupa pasti
terlontar dari mulut mereka ketika aku bertanya tentang alasan merantau. Hampir
mirip dengan niat awalku meninggalkan tanah Sunda selain dari faktor kesehatan
tentunya.
Awal
datang di kota ini aku langsung merasa kerasan. Selain dari penerimaan
orang-orang yang cukup ramah, aku sangat suka dengan kulinernya. Mungkin karena
latar belakang kearifan budaya lokal yang hampir mirip dengan Bandung makanya
aku tidak merasa canggung di sini. Kebiasaanku jalan pagi juga banyak membantu
untuk lebih banyak mengenal masyarakat di kota ini. Hampir mirip sebenarnya
menurutku dengan kebiasaan masyarakat Bandung.
Di
Bandung, hampir setiap pagi aku mencari tempat untuk sarapan ringan. Ternyata
di kota Kediri ini juga aku bisa mendapatkannya dengan mudah. Hobi makan
gorenganku bisa tersalurkan juga ternyata di tempat ini (jangan dicontoh).
Jadilah aku punya banyak teman baru di kota ini berkat hobi jalan kaki plus
jajan di kaki lima. Kebetulan di sekitar kosan aku fasilitasnya cukup lengkap,
mulai dari tukang sayur yang mangkal sampai cafe
ada semua di sini.
Sepertinya
ini juga salah satu kemudahan yang diberikan Allah. Dimulai dari mendapatkan
kosan yang harganya terjangkau, hingga lingkungan yang orang-orangnya cukup
nyaman. Aku anggap ini sebagai langkah awal kemudahan memulai jalan hijrah.
Seperti itulah Kang Emil dan Bu Cinta, intisari perantauanku adalah hijrah.
Bukan untuk meninggalkan atau melupakan, tapi lebih kepada untuk menyembuhkan.
Menyembuhkan apa kira-kira? Sekali lagi aku katakan, kalau semuanya secara
gamblang diceritakan di sini, nantinya malah jadi novel dong hehe.
Tantangan Pertama Membangun UMKM
Kesulitan
pertamaku ketika tiba di kota ini adalah bahasa, lalu ditambah pula dengan
kendaraan. Bahasa sudah pasti jadi kendala utama, apalagi orang Kediri sangat
cinta bahasa ibu. Jadinya aku cukup sulit mengikuti ritme mereka yang selalu
saja mencampur pembicaraaan dengan menggunakan bahasa Jawa. Sebenarnya aku
sering protes juga, tapi malah lebih seringnya ditimpali lagi, “Piye toh Sampean tuh, belajar ngomong
Jawa dong.”
Oalah,
sering ingin kutimpali juga dengan omongan kayak gini, “Ih, ari didinya teh kumaha ... geus puguh hese bahasa Jawa teh.”
Jadilah adegan campursari kalau aku ngobrol dengan mereka hehe. Tapi kembali
lagi pada kebanggaan orang Kediri pada bahasa ibunya yang memang patut diacungi
jempol. Siapa lagi yang akan melestarikan budaya daerah kalau bukan
masyarakatnya sendiri, setuju tidak?
Lucunya,
jadi asa bucat bisul ketika bertemu
dengan orang-orang Sunda yang ada di kota ini. Berasa naik dopaminnya ketika
ngobrol dalam bahasa daerah sendiri tuh. Orang yang pertama kali menyapaku dalam bahasa Sunda adalah penjual
batagor. Awalnya seperti biasa saja, aku ingin mengaso di pinggir jalan sambil
nunggu waktu duhur tiba. Ketika melihat ada yang jualan batagor, sontak saja
rasa rindu akan tanah kelahiranku membuncah. Siapa tahu rasa camilan ini bisa
mengobati rinduku pada Bandung hehe.
Tidak
disangka-sangka si Mas penjualnya menyapaku, “Neng, ti Bandungnya?” Hampir saja batagor di ujung garpu terjatuh
ketika mendengar pertanyaannya (maaf jadi kayak cerpen kalimatnya hehe).
“Lho,
Bapak dari Bandung Juga?” Aku jadi balik bertanya sambil menyelidiki roman
wajahnya yang tidak ada unsur wajah Sundanya.
“Lain, ti Tangerang saya mah.”
Oalah,
orang Tangerang memang ada yang memakai bahasa Sunda, tapi cenderung tidak
sehalus orang Jawa Barat. Ternyata alasan itu pula yang digunakan Beliau untuk
beragumen tentang asal daerahku. Kata Beliau, orang Bandung bahasa Sundanya
halus, logatnya juga beda dengan orang asal daerah Jawa Barat lainnya. Iyakah? Aku
sendiri juga selama ini belum sampai meneliti sedalam itu. Kemungkinannya faktor
culture, alam dan lingkungan tempat
tinggal, pekerjaan, pendidikan, serta silsilah keturunan ada pengaruhnya juga
ke dalam perbedaan tutur kata bahasa Sunda orang Bandung dengan daerah Jawa
Barat lainnya. Sepertinya materi ini bisa jadi bahasan di episode tulisan
lainnya hehe. Selanjutnya, aku bertahap bertemu dengan beberapa orang yang
asalnya dari daerah Jawa Barat. Tapi aku simpan dulu ya Pak dan Bu, untuk bahan
cerita selanjutnya.
Kediri
diklaim sebagai kota paling makmur di antara kota lain yang ada di Jawa Timur.
Ketika pertama kali tiba di tempat ini pun aku langsung setuju dengan
pernyataan tersebut. Alasannya karena aku tidak menemukan angkot di kota ini.
Pikiranku waktu itu langsung tertuju pada hebatnya orang-orang di kota ini yang
pastinya hampir seluruhnya punya kendaraan pribadi. Iyalah, pikiran seperti itu
pasti muncul, soalnya untuk mobilitas di dalam kota pasti butuh kendaraan
bukan? Nah, waktu itu aku tidak melihat angkutan umum kota, terkecuali bus
antar kota dan provinsi di tempat ini.
Ditambah
juga dengan beberapa pernyataan dari orang Kediri asli yang katanya memang
orang sini pakai kendaraan sendiri selain Ojol. Wah, keren! Kata ini untuk
mendukung acungan jempol dariku waktu itu pada orang Kediri yang pada makmur
semua. Ditambah juga kata itu dipakai untuk merutuki nasibku yang biasa
menggunakan angkot dan bus umum di Bandung untuk mobilitas. Thats great! I must have vehicle to live
here! Kemudian keinginan itu jadi semakin bertambah ketika ternyata aku
harus menggunakan Ojol kemana-mana yang menyusutkan isi dompet secara ajaib
dalam seminggu hehe.
Dari
sinilah cerita berawal, bagaimana dari bekal seadanya aku berusaha mendapatkan
sepeda untuk memudahkan aktivitasku di kota ini. Sebuah pergerakan kehidupan
yang pada intinya hanyalah untuk bertahan hidup, bukan untuk menunjukkan
seberapa hebatnya aku. Kang Emil yang terhormat dan Bu Atalia yang tercinta,
ini adalah tulisan yang mengawali beberapa cerita lain tentang usaha aku
menciptakan lapangan pekerjaan. Ceritaku berusaha membangun UMKM dari bekal
seadanya dan hanya berpegang teguh pada keyakinan serta berbaik sangka pada
Allah.
Insyaallah,
tulisan episode tulisan selanjutnya akan bertajuk “Karma Sepeda Tua”. Asa rada jiga sinetron judulna hehe. Tapi
insyaallah ini benar-benar urutan perjuanganku di perantauan. Sebuah episode
kehidupan yang ternyata tidak mampu melunturkan jiwaku sebagai orang Sunda.
10 Komentar
Dulu pas di Jakarta banyak ketemu orang Sunda. Bahkan orang Lampung pun bisa bahasa Sunda. Saya kadang ngerti dikit, kadang enggak ^^
BalasHapuswaaah iya ta orang Lampung bisa B Sunda?
Hapuskalo molly orang palembang. pas nemu orang palembang di jakarta langsung heboh ngobrol pake bahaso plembang haha.. toss kita kak.
BalasHapushehe bahagia banget yah pas nemu orang sekampung
HapusHidup di perantauan emang sesuatu. Apalagi faktor bahasa juga. Terus di perantauan juga biasanya start dari 0 memang segala halnya, jauh dari siapa2 pula :') ditunggu nih next episodenya.. penasaran UMKM apakah itu? hihihi
BalasHapuslagi ngumpulin mood nyeritainnya kak hehe
Hapuspenasaran sama cerita selanjutnya, aku belum pernah ke kediri mba. kaya gimana suasananya? suhunya? kerasan gak sebagai orang bandung yang biasa dapet angin dingin tiap pagi yang kalau panas ge teu panas-panas teuing lah, masih terasa tiis, hehehe. pasti kangen bandung ya sekali-kali. tapi kalau harus hijrah demi kebaikan, kenapa gak. aku juga pengen begitu
BalasHapushahhaha berasa ikutan ketawa pas obrolan jawa vs sunda, sama-sama ti ngerti yaa kedua belah pihak, wkwkwk. Biasanya orang merantau buat kehidupan ke kota2 besar yaa, kaya Jakarta dan kota2 sekitarnya, kamu malah ke Kediri, penasaran juga sama alasannya hihi. Pluss ga sabar nih nunggu kelanjutan cerita UMKM nyaaa, duhh hanging the cliff banget nih ceritanya hahhaha
BalasHapusSaya selalu senang dengan Orang-orang Sunda. Entah kenapa, mungkin karena pernah dan sering interaksi dengan mereka.meskipun juga ga bisa ikutan ngobrol, apalagi menggunakan bahasa Sunda. Hehe. Pengen sebenarnya belajar, karena pas di Fb karena dulu menggunakan aku Kang Ugi , jadi beberapa kali teman fb yang dari Jawa Barat menyapa dengan bahasa Sunda.
BalasHapusmemutuskan untuk merantau di kota orang itu hal yang besar. ditambah lagi merintis usaha dari nol. hebat kak, semangat terus. boleh banget nih kasih rekomendasi kulinernya. wqwq
BalasHapusHalo, dilarang spam yah. Maaf, kalau ada komentar tidak pantas mimin bakal langsung hapus.