Mereka Yang Kupanggil Perempuan
Para Perempuan |
Dikatakan
perempuan adalah makhluk yang unik. Unik karena membawa satu paket komplit
dalam dirinya. Perempuan hampir bisa melakukan semua hal yang dikerjakan pria.
Perempuan dikodratkan memiliki talenta besar dalam menentukan kualitas generasi
penerus. Makhluk ini pula yang menentukan kecerdasan benih yang dikandungnya.
Perempuan
dikatakan lemah, tapi banyak yang menyebutnya lebih super power dari pria. Kelemahannya adalah kekuatannya, kekuatannya
adalah kelemahannya. Semua bias ketika dikotakkan dalam kata perempuan. Airmata disebut sebagai
kelemahannya, tapi sebenarnya cikal bakal dari kekuatan. Karena ia meneteskan
airmata untuk orang-orang spesial dalam hidupnya. Orang-orang yang harus dibela
dan dilindungi olehnya. Airmata menunjukkan betapa pentingnya mereka. Betapa ia
harus kuat untuk dapat memberikan yang terbaik untuk mereka.
Entah
kenapa jadi serius begini setiap membicarakan perempuan hehehe. Bisa jadi
karena aku juga wanita dan bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Bisa paham
apa yang mereka perjuangkan dalam kehidupan. Bisa jadi juga karena aku ingin
menceritakan kisahku sendiri yang sebenarnya hampir mirip dengan mereka. Atau
mungkin aku hanya ingin mengatakan, “Wanita hanyalah wanita, sekuat apapun yang
terlihat ... ia tetap menjatuhkan airmata.”
Mereka
Yang Kupanggil Perempuan
Nenek
penjaga warung
“Bu,
pesan kopinya ada?”
Ibu
yang sedang terkantuk-kantuk itu tersentak bangun. “Eh, kopi yah, Mbak? Mau
kopi apa?”
“White coffee aja, Bu, kalo ada.”
“Oh,
iya, iya ada. Tambah gula sama es ndak?”
“Yang
panas, Bu, boleh tambah gula sedikit.”
Ibu
penjaga warung itu mengangguk seraya menegakkan punggung. “White coffe, kopi panas, tambah gula sedikit,” ulangnya mantap.
Aku
mengangguk, sedikit terharu melihat kesungguhannya mengulang pesananku. Sekejap
aku merasa beliau ingin menunjukkan bisa dipercaya dalam hal sekecil apa pun.
Ah, mulai ngelantur lagi! Aku tertawa geli dengan pikiran sendiri dan berusaha
menepisnya. Tapi penilaianku pada beliau tidak berhenti di situ saja.
Sebenarnya tujuanku datang ke tempat ini karena ruangannya yang terbuka, serta
asyik suasananya untuk mendapat ide-ide segar. Sama sekali tidak mengira kalau
ada kantin kecil di dalamnya yang kebetulan dijaga seorang nenek.
Pertama
kali melihatnya aku langsung kasian (teringat mama di rumah, teringat kalau aku
tua nanti, teringat anak-anak beliau, di mana mereka?). Jalannya saja sudah
patah-patah (maaf, seperti pinguin), sepertinya beliau ada rasa sakit di kaki.
Sekali lagi aku merasakan perjalanan hidup yang berat dari ibu itu, perjuangan
yang penuh liku. Ah, lagi-lagi aku melow hehe.
Tapi pemikiranku yang seperti itu tidak bisa disalahkan. Seorang nenek dengan
kondisi yang menurutku sudah tidak fit tapi harus jaga kantin tiap hari? Pasti
ada cerita lain dibalik kegigihannya itu.
Di
hari yang lain pernah aku kebelet pipis,
tapi kagok sama kerjaan. Lagipula aku tidak menemukan orang yang bisa dititipi
tas dan barang lainnya. Kebetulan tadi aku memesan segelas es lagi.
Dipikir-pikir, daripada menitipkan tas pada orang lain, mendingan aku minta
tolong sama ibu penjaga kantin saja. Kebetulannya, si Ibu mengajak aku ngobrol.
Walaupun tidak mengerti sepenuhnya yang ia ucapkan (karena memakai bahasa
Jawa), tapi aku bisa menyimpulkan sedikit. Si Ibu bercerita kalau tadi ada
bapak yang pesan, untung saja belum dibuatkan. Soalnya nggak muncul aja orang
yang pesannya, tadi bilangnya mau ke belakang sebentar. Aku hanya mengangguk
dan mengiyakan cerita beliau. Memang sejak sering pesan es teh, beliau jadi
terbuka dan sering menyapa (alhamdulillah). Kemudian aku pun mengambil
kesempatan setelah beliau selesai bercerita.
“Bu
maaf, saya bisa titip tas sebentar? Pengen ke toilet ...,” tanyaku sambil
menepuk-nepuk tas di meja.
Diluar
ekspetasi, Ibu penjaga warung itu mengangguk tegas (sangat tegas). “Iya, biar
saya liatin.”
Aku
pun buru-buru ke toilet dan selesai dalam waktu 5 menitan. Ketika kembali, kupikir
tasnya dijaga sambil diliatin dari warungnya, ternyata salah. Si Ibu itu malah
ngejaga tasku sambil duduk tepat di depan mejanya. Duh, aku jadi merasa tidak
enak (maaf menyuruh orang tua). Dari kejadian itu aku pun menyimpulkan kalau si
Ibu orang yang sangat maksimal mengerjakan sesuatu kalau sudah dipercaya. Beliau
juga ingin menunjukkan dapat dipercaya oleh siapa pun. Aku jadi makin yakin
kalau ia tinggal sendirian.
Tapi
ternyata salah, karena pernah suatu hari aku melihatnya dijemput anaknya. Sebelum
pulang Ibu itu menghampiri pria di sebelahku dan memintanya untuk menyimpan
gelas kopi di warung kalau pulang nanti.
“Pulang,
Bu?” Aku mengambil inisiatif bertanya padanya daripada penasaran.
Ibu
itu mengangguk tegas. “Iya, Mbak. Udah sore. Besok kan ke sini lagi.”
Aku
pun tersenyum. Lagi-lagi aku menangkap tekad berjuang darinya. Tekad seseorang
yang tak ingin menyerah pada waktu yang memakan usianya. Tekad seseorang yang
ingin menunjukkan pada dunia apabila dirinya masih mampu untuk berjuang. Tekad
seseorang yang tak ingin menjadi beban siapa pun. Seorang pejuang yang
dipanggil perempuan olehku.
Dia perempuan yang kupanggil Ibu
Maunya
aku sih menceritakan kisah setiap wanita unik yang kukenal. Tapi itu bisa makan
waktu dan malah jadi cerpen nantinya hahaha. Seperti kisah ibuku ini yang sering
tak kumengerti jalan pikirannya. Mungkin karena aku menganggap dia terlalu
serius menanggapi hidup. Mungkin juga karena aku merasa selalu dianggapnya
masih anak-anak. Tapi dibalik sikap keras yang ditunjukkan, ia hanya ingin
mendidik agar aku jadi pribadi yang tegas dan nggak menye-menye.
Kerasnya
kata-kata yang dikeluarkan hanya untuk mengajarkan agar tidak mengeluh pada
manusia. Jangan terlihat atau memperlihatkan kesusahan. Harus bisa punya
kontrol diri dan tujuan yang pasti juga terarah. Ia hanya ingin mengatakan agar
hanya percaya pada Allah saja. Dia yang sering berwajah besi (persis aku hehe)
karena hidup yang penuh liku, hanya ingin mengatakan jangan cepat menyerah. Ia hanya
ingin hidupku baik-baik saja, itu saja sebenarnya. Dia yang
kupanggil perempuan hanya ingin meyakinkan aku tak menjalani pedihnya hidup seperti
yang pernah ia jalani
Adikku perempuan pejuang sejati
Satu lagi wanita yang jadi sorotan,
adikku sendiri. Dia yang berjuang tetap sehat dari dulu hingga sekarang. Menampik
semua pertolongan demi keyakinan pada yang Maha Esa. Bukan karena sombong, tapi
lebih kepada angkuh. Karena tak ingin terlihat atau memperlihatkan kesulitan
hidup (memang ini yang disukai Allah). Karena tak ingin mengeluh pada manusia
dan hanya menceritakan kesulitan pada Allah semata.
Dia yang berusaha berjuang untuk
jadi luar biasa dari yang asalnya biasa dan membuktikan diri punya talenta.
Perempuan yang hanya ingin berkata jangan menyerah pada keadaan, jangan
mengeluh. Dari seluruh kisahnya yang teramati, dari semua airmatanya yang
sempat tertangkap kedipan mata, ada sebuah kisah. Tentang seorang ibu yang
berusaha kuat untuk anak-anaknya. Seorang wanita pejuang yang ingin tetap ada
di tengah keluarganya. Karena ia paham, dirinya adalah pusat kekuatan mereka.
Dia yang kupanggil perempuan hanya ingin memberikan hal terbaik demi mereka
yang dicinta.
Jadi, perempuan itu apa? Yang kutahu
ia adalah makhluk beruntung yang
dianugerahi cinta besar hingga bisa membagikannya pada orang-orang tercinta. Makhluk
yang bisa menyulap airmata jadi tenaga perkasa, lagi-lagi demi mereka yang
dicinta. Makhluk yang dalam bahasa Sansekerta berarti yang memiliki kemuliaan. Mulia
karena diberkahi dapat melahirkan peradaban.
Aku juga perempuan, tapi tak pernah
merasa perkasa walaupun banyak yang mendoktrin seperti itu. Menurutku perempuan
memang luar biasa, terutama ketika ditantang bertahan hidup. Tapi yang lebih
luar biasa lagi adalah mereka yang tahu seberapa besar kapasitas dirinya. Paham
kapan harus tetap berjuang, kapan harus bertahan dan kapan harus meminta
pertolongan. Sekuat apapun perempuan, ia hanyalah makhluk yang akan tetap
membutuhkan pelukan.
0 Komentar
Halo, dilarang spam yah. Maaf, kalau ada komentar tidak pantas mimin bakal langsung hapus.