Kado Untuk Pahlawan: Tiga Tonggak
Dari Tiga Lelaki
Andai
cerita kehidupan bisa berjalan sesuai skenario manusia, pasti aku akan membuat
alur cerita yang lebih mudah dan indah. Sayangnya, langit yang berkuasa akan
segala sesuatu dan aku tak bisa menentukan ke arah mana takdir menuju. Tepat
seperti yang tengah aku jalani saat ini, sebuah kehidupan penuh liku yang
kuyakini takkan ada yang berkehendak untuk melakoni.
Wanita-kodratnya
untuk dilindungi, dihargai, dihormati, dan disayangi. Sebuah rentetan
pengharapan yang berubah jadi halusinasi setelah menjalani berpuluh tahun
kehidupan di dunia. Lemah-itu kata yang tersemat secara tak sengaja di diri
ini. Bukan maksud hati merendahkan diri sendiri, tapi memang sempat tertatih
dan masih pincang hingga saat ini. Betapa perjalanan hidup yang panjang penuh
cerita duka. Diawali dengan kehilangan seseorang yang kerap jadi penguat dikala
sedih.
Tak
banyak yang tahu seperti apa Papa selalu datang di titik terlemahku.
Kematiannya sempat membuatku hilang harapan. Takut akan sendirian mendera
bertubi di hari-hari penuh airmata. Tapi apa daya bila kehendak semesta tak
serupa dengan keinginan manusia. Hingga satu per satu lelaki di sampingku
menghilang. Dua pangeranku pun jauh tak tersentuh seperti di hari saat kita
pernah bersatu. Kado untuk pahlawan pantas
diberikan kepada mereka bertiga, para lelaki yang tanpa sadar telah
menginspirasiku.
Kado Untuk Pahlawan, Tiga Lelaki
Dalam Hidupku
Mama
selalu jadi inspirasi dalam kemandirian, tentu saja aku dibanding dia bagai
langit dan bumi. Tak bisa disangkal doa-doanya telah mengguncang langit agar
memberi perhatian lebih pada anaknya ini. Namun, ada tiga orang dalam
kesendirianku yang tanpa sadar telah jadi pelipur lara. Mereka pernah membuatku
terjatuh dan merasa sendirian, tapi sekaligus menjadi sumber inti kekuatan. Aku
belajar untuk menepis airmata, menjelmakannya jadi ribuan tenaga untuk
menjalani suratan semesta.
Kado Untuk Pahlawan, Papa Tercinta
Lelaki
tua itu pernah menjalani hidup diluar dugaan. Dari yang serba ada dan mudah jadi
menjalani hidup apa adanya. Yang dari awalnya selalu mengendarai kendaraan
pribadi hingga akhirnya mau tak mau menikmati angkutan umum. Sempat Papa
terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri. Ketakutan terbesarnya tidak lagi
mendapat penghargaan dari keluarga. Sesuatu yang sebetulnya tak perlu ada
karena aku tak pernah menilainya dari harta. Butuh waktu lama untuk
mengembalikan kepercayaan diri Papa padahal ia sangat pintar. Banyak teman yang
membutuhkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah yang tengah mereka hadapi.
Tapi Papa seperti enggan menanggapi. Ia butuh motivasi yang dapat menggerakkan
alam bawah sadar bahwa dirinya masihlah berharga, terutama di mataku, putrinya.
Ternyata
yang dibutuhkan Papa sebuah pengakuan dari keluarga, dan aku tanpa sadar telah
memberikannya. Kebiasaan mengunjungi dan saling berkabar menjadi semacam healing untuk Papa. Tanpa sadar aku telah memberikan pengakuan yang
diinginkannya. Papa berusaha berbuat yang terbaik agar penghormatanku kembali,
padahal ia tak perlu melakukannya. Karena di mataku ia tak pernah salah, tapi
fase kehidupan yang telah membuat bermacam cerita di luar dugaan. Lalu semua
yang diluar dugaan menimpaku. Adalah ujian berat bagiku ketika mahligai
pernikahan kandas ke dasar lautan.
Jujur
aku mengalami fase kehilangan yang berat. Bukan seperti ini mimpiku tentang
pernikahan. Bahagia mirip putri dan pangeran kerajaan nyaris memenuhi ekspetasiku sebelum dan di awal pernikahan. Berat
sekali harus mengakui tak mendapatkan kisah percintaan bak dongeng Cinderella.
Bakti yang ternodai akhirnya yang bersuara lebih keras dari penghambaan pada
kata ikhlas dan sabar. Perceraian di pelupuk mata, aku pun tersungkur ke bumi
meminta ampun karena harus menggadai kata sabar. Aku memilih untuk mundur dan
melupakan, biar langit saja yang menyelesaikan semua.
Menurutku,
mempertahankan harga diri adalah kekayaan yang harus diperjuangkan. Demi
penghormatan pada kata ‘perempuan’, makhluk yang dijunjung tinggi kedudukannya
dalam Islam, terpaksa aku menanggalkan bakti pada suami. Tapi ternyata
menjalani kisah sesudahnya tak semudah membuka dan menutup pintu. Aku harus
mengunci pintu baik-baik agar lukanya tak menyebar masuk. Dan berulang kali
membuka tutup pintu baru demi sebuah pengharapan. Semuanya tak mudah, terluka
karena cinta membuat lemah sesaat. Ketika luka rasa itu sembuh, aku harus
menghalau patah semangat karena perceraian. Benar-benar membutuhkan motivasi
besar untuk bangkit dan berkembang. Aku mendapatkannya satu per satu melalui
proses pendekatan diri pada yang Maha Kuasa.
Proses
yang panjang dan butuh waktu untuk menyembuhkan. Tak mudah menjadi single mom dari dua anak lelaki. Papa
tahu benar di saat-saat terlemahku, kerap aku meminta doa darinya dengan
mengirim pesan lewat ponsel. Dan ia selalu hadir dikala airmata ini terlalu
penuh. Menjemput, mengantar, mendampingi di setiap pertemuan kami adalah aturan
yang wajib ia penuhi. Membahagiakan aku dalam bentuk sekecil apapun merupakan
upaya penebusan dosa baginya. Papa memberiku banyak nasehat tentang pasrah dan
ikhlas. Pesannya jangan pernah meninggalkan salat, apapun dan dimanapun juga
kita berada. Ikhlas menjalani kehidupan, dan tulus menolong orang yang
membutuhkan adalah prinsip dasarnya.
Sebuah
pukulan bagiku kala Papa meninggalkan dunia fana. Luka akibat perceraian yang
belum tuntas tertimpa luka baru yang akhirnya makin melebar seiring perjalanan
hidup, bahkan hingga kini. Aku menjalani hari-hari penuh airmata dan tak
menerima, mengapa aku harus ditinggal sendiri di dunia? Hari-hari panjang harus
kulalui hingga akhirnya dapat menerima sedikit kenyataan yang ada. Lambat laun
sedihnya bisa menepi dan berubah jadi keberanian. Takut karena ditinggal
sendiri ternyata malah menempaku belajar kuat dan sabar. Toh, nanti di akhirat
pun akan sendirian, justru itulah ketakutan yang seharusnya, bukan ketika masih
berada di dunia ini. Nasehat Papa untuk selalu dekat pada Allah dapat kupahami
kini. Memang tak ada pelindung sebenar-benarnya selain Allah.
Didikan
Papa selama menemani rasa sepi menjadi single
mom tentang kepasrahan diri pada Ilahi benar-benar membekas. Tanpa
disadari, Papa telah mengarahkanku untuk selalu optimis dan tidak gampang
menyerah. Saat ini pun di masa penuh ujian aku bersyukur karena bercermin pada
sikapnya selama masih hidup. Papa tak pernah mengeluh, lelahnya hanya terlihat
di hamparan sajadah. Ia tak pernah malu untuk tampil sederhana, tapi selalu
penuh arti. Karena di hari-harinya selalu dihiasi oleh kebaikan, menolong yang
patut ditolong. Papa pahlawanku dalam menyikapi kehidupan. Inspirasi tertinggi
belajar tentang penghambaan diri pada yang Maha Kuasa. Hingga kini, seberat dan
serapi apapun juga rencana manusia, tetap Allah pembuat skenario sesungguhnya.
Dan kita hanya mampu menjalani saja tanpa bisa mengedit. Papa yang mendidik aku
untuk selalu yakin dengan pertolongan dan keadilan Allah.
Kado Untuk Pahlawan, Si Sulung
Jagoanku
Bintang
dengan lambang kambing jelas tergambar pada watak sulungku, M Syafar Fauzan
ini. Keras, sulit diberitahu (karena punya prinsip sendiri), tapi bijaksana.
Bahkan dalam beberapa kondisi tertentu ia selalu berusaha menyeimbangkan segala
hal. Memusatkan dirinya di tengah-tengah, membuat dua sisi seimbang, membuat
kedua belah pihak merasa enak posisinya tanpa ada yang merasa dirugikan.
Dibanding dengan diriku jelas jauh berbeda. Aku harus diam dulu untuk
menyeimbangkan emosi, menenangkan diri, barulah proporsi sama panjang dan sama
lebar untuk masalah yang ada tampak, dan saat itulah kebijaksanaan muncul. Satu
persamaan antara kami, sama-sama bisa langsung meledak kalau sudah tak kuat
memendam kesabaran.
Sepanjang
hidupku rasanya sulit memaafkan diri sendiri karena belum bisa memberikan yang
terbaik untuk putra pertamaku ini. Maksud hati ingin selalu berada di sisinya,
tapi lagi-lagi cerita langit lebih memonopoli. Sakit menahun membuatku harus
menitipkannya pada ibu. Kemudian begitu banyak cerita yang menghalangi niatku
merengkuhnya, menemani hari-hari. Hingga ada satu takdir yang menyatakan aku
harus mendampingi kedua pangeranku di hari-hari belajarnya. Takdir yang
membuatku harus menepis semua rasa sakit demi janji pada langit di setiap doa.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain memberikan yang terbaik untuk keduanya,
meskipun harus menahan lapar hingga seharian pun.
Sayangnya,
lagi-lagi aku hanya bisa berencana, penyakit kembali menyerang di titik
terlemahku. Kehilangan Papa dan segala beban dalam hidup membuatku kembali
terhempas. Aku menangis? Tentu saja, sekencang mungkin, tapi tidak tampak di
mata manusia. Keputusan terberat kedua setelah memutuskan mundur dari ikatan
pernikahan adalah mengundurkan diri dari pekerjaan. Kesehatan yang kian
memburuk memaksaku mengambil keputusan berani meskipun taruhannya masa depan
yang tak pasti. Lagi-lagi, di tengah rasa sakit dan takut, kepasrahan akan
garis yang ditorehkan langit membuatku yakin masa yang akan datang takkan
semenakutkan itu.
Keputusan
berani itu berimbas besar pada kehidupan kami. Setelah mencoba berkali-kali
bekerja dan tetap saja masalah kesehatan yang jadi kendalanya, akhirnya aku
memutuskan rehat sejenak dan menjeda semua. Masalah yang bertubi-tubi ternyata
berdampak besar pada psikis sulungku, sedih rasanya menyaksikan ia harus ikut
menjalani kehidupan dunia yang tidak biasa. Aku tahu ia sedih dan butuh waktu
untuk menerima. Selama proses penerimaan itu sulungku berubah jadi tertutup.
Aku tahu ia marah, tapi tak bisa menyalahkan siapa pun. Tak menutup mata, aku
berusaha bangkit dan tak patah semangat mencari pengharapan. Beberapa kali
sepertinya jalan akan terbuka, tapi pada akhirnya buahnya terjatuh tanpa sempat
matang. Aku harus menerima beberapa kali kegagalan lagi dalam pekerjaan.
Sedih,
karena hanya Allah yang tahu maksud aku yang sebenarnya. Aku hanya ingin
memberi banyak pada anak-anak, membahagiakan mereka dengan segenap hati.
Sulungku paham dengan bertubi ujian yang ibunya hadapi ini. Alhamdulillah,
pemahaman tersebut mengarahkannya lebih dekat pada Allah. Ia tak tahu,
kesabaran dan proses penerimaannya telah membuat satu bagian dalam diriku makin
berontak. Tidak pada takdir langit, tapi lebih kepada tak ingin berputus
asa. Berpegang pada keyakinan serta
prasangka baik pada Allah, aku bertekad mengubah segalanya meskipun harus
meninggalkan bumi kelahiran. Dan disinilah aku, jauh di perantauan, merajut
helai demi helai benang harapan demi
membuka jalan pengharapan. Meskipun terjatuh atau dijatuhkan tak pernah aku
lupa berdiri. Sulungku tak sadar kalau telah menjadi tonggak kedua yang
menguatkan hati dan kakiku untuk terus berjalan menyusuri kehidupan. Maafkan ibumu
ini yang tak pernah bisa menjadi seperti yang kau mau, Nak.
Kado Untuk Pahlawan, si Bungsu
Penguatku
Tamparan
terhebatku ketika harus merelakan bungsuku, M Alwan Nurafizi pergi. Kondisi
kesehatan dan juga ekonomi yang masih belum membaik membuat dirinya bertindak
berani. Ia mengerti keadaan ibunya yang masih serba sulit hingga berbijaksana
hati mengalah. Bungsuku rela mengorbankan hati demi masa depan, sebuah keputusan
berat yang diambilnya karena keadaan. Berat untuk kami berdua, berat juga untuk
keluarga besar. Tak pernah ada yang tahu kisah sesungguhnya, hanya langit yang
menyaksikan dan masih tetap bungkam hingga kini. Hanya Allah yang tahu betapa
berat aku menjalani hari-hari tanpa bungsuku. Ia yang selalu membuat tertawa
dan menghibur harus tersamarkan jarak yang entah kapan memendek. Sempat aku
limbung dan makin terpuruk. Tapi kemudian waktu yang membuat semua luka
perlahan pudar.
Tekadku
bulat, harus bangkit dari luka hati dan ekonomi. Banyak yang melihatku seperti
sedang menikmati hidup karena banyak berkegiatan, padahal semua itu adalah
proses healing-ku. Semakin sibuk,
semakin lupa akan luka dan makin bersemangat mencari pengharapan. Namun, langit
sungguh jeli menguji. Kemudahan silih berganti bertukar dengan kesulitan. Demikian
seperti itu selalu, layaknya roller
coaster, turun naik, berputar, berpelintir, lalu kembali bergerak lurus. Kecepatannya
sering membuatku mendadak lemah dan lelah. Bukan malas, tapi lelah. Sering aku
harus berhenti untuk memaknai semua yang terjadi. Lagi-lagi, ajaran Papa
tentang keyakinan pada Allah dan jangan mudah berputus asa yang jadi penolongku.
Harapan
terbesarku adalah merengkuh kembali si Bungsu ke dalam pelukan. Selalu nyaris
hal itu terjadi, tapi kemudian selalu meleset kembali dari jalur pengharapan. Tak
ada buruk sangka, karena aku tahu inilah bidak-bidak yang harus kulangkahi. Hanya
tinggal memaknai langkah seperti apa yang akan diambil, jangan sampai salah
menjejak, jangan sampai juga salah meninggalkan jejak. Aku tahu, bungsuku
menyimpan duka yang dalam, siapa yang mau terpisah dari ibu sendiri? Pengharapannya
aku akan menjemput dan kembali menjalani hari-hari penuh duka, luka, dan tawa. Aku
tahu yang diinginkannya, karena seperti itu pula keinginanku. Karena itulah aku
di sni, melipat duka menelan airmata, merajut harapan. Tak ada yang tahu cerita
sesungguhnya, hanya langit saja yang paham. Karena itu jangan bertanya mengapa
harus, mengapa bisa, mengapa dapat bertahan, tersebab langit penggenggam
rahasianya, langit pula yang membukakan pintu-pintu ajaibnya.
Membuang
diri di perantauan demi hidup yang lebih baik, dan pengharapan bisa memberikan
yang terbaik untuk bungsuku, untuk kedua pangeranku. Tak perlu ada yang tahu
airmataku karena manusia hanya bisa mencela. Kado untuk pahlawan, bungsuku,
engkau pantas menyandangnya. Tanpa kau sadari telah menjadi sumber kekuatanku
untuk menyingkirkan rasa takut, menepis lelah, menelan duka. Maafkan ibumu yang
masih belum bisa menjemputmu.
Kado untuk pahlawan, kusematkan
kata-kata tersebut di dada tiga lelaki yang telah menjadi sumber inspirasi
kekuatanku. Kuharap kalian, terutama dua pangeranku mendapatkan hadiah agar
dapat menggapai cita-cita. Sejauh ini melangkah, kuyakin cahaya itu ada meski
di tempat tergelap sekalipun. Papa dengan keteguhan dan kesabarannya menjalani
hidup. Keyakinannya pada Allah, kebaikan hatinya menolong banyak orang tanpa
pamrih wajib kumaknai, karena seperti itu pula tugas yang disematkan semesta
padaku. Sulung dan bungsuku yang sama-sama menyimpan duka, membuatku menggugah
diri untuk terus membuat pengharapan baru. Walaupun berat, meskipun
berkali-kali dijatuhkan, aku takkan pernah patah. Langit terlalu berbudi untuk
menghina, semesta terlalu perkasa untuk melemahkan, Allah terlalu Maha Pengasih
dan Penyayang untuk mengabaikan. Wallahualam, manusia tetap manusia, hanya bisa
berencana. Aku takkan pernah tahu di titik mana perhentiannya, terima kasih
telah menggugah kekuatanku, mengingatkanku ada sesuatu yang masih harus
diperjuangkan.
0 Komentar
Halo, dilarang spam yah. Maaf, kalau ada komentar tidak pantas mimin bakal langsung hapus.